menganalisis kebijakan pertanian pusat di Indonesia
A. KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan
pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan
oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi
lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat
penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan
ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan
tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah,
Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi
menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil
merata (distributive policies). Kebijakan
yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering
dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya
mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku
sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan
yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan
jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang
memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang
dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada
banyak sedikitnya campur tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan
itu mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang lebih baik adalah yang
dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan
perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
1. Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang
terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan
sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan
untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar
pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun
ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil
pertanian supaya tidak terlalu merugikan
petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani.
Di banyak negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali
hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat
perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru
mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun
1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai tiga
tujuan yaitu:
- stabilitas
harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
- meningkatkan
pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
- memberikan
arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan
harga di Indonesia
terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas harga hasil-hasil
pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi kestabilan
pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil
pertanian di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok pendapatan
rata-rata sektor pertanian terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di
luar sektor pertanian.
Tujuan yang
kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya
berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan
administrasinya sangat kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian
ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke
golongan pertanian, sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah di
negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh
lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi dibanding golongan penduduk
pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata di bawah 10
persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60
persen-70 persen.
Tujuan kebijakan
yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara yang sudah
maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah
produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah
membuat perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan
produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada
umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain
kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan
petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi
seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan
biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke
atas.
2. Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen,
pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan
tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran
dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani.
Di negara-negara Afrika seperti Nigeria
dan Kenya
apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh
fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat
berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia
Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan
yang sama dengan Badan pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang
dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada tingkat
petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan
penanaman baru dan usaha-usaha lain untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang
diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan bagian yang diterima
golongan-golongan lain.
Selain kebijakan
pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini meliputi
pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah
berusaha menciptakan persaingan yang
sehat di antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk,
insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli
sarana-sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi.
Jadi disini jelas bahwa kebijakan
pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya
kekuatan-kekuatan pasar. Di satu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh
kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan petani,
tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi
yang tinggi. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan harga.
3. Kebijakan Struktural
Kebijakan
struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi
misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian
yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik
maupun sosial ekonomi.
Kebijakan
struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa
lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk
mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat usahatani
yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari
kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan ekonomi saja
tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam sektor pertanian
sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri. Pengenalan
baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh dari kebijakan
ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan
pula untuk mempercepat proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam
komoditi-komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada,
karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga,
pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan ketiganya saling
melengkapi.
4. Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan
antara pertanian dan industri adalah:
- Produksi
pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam
yang kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya,
sedangkan industri tidak demikian.
- Pertanian
memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang dengan
kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak
akan naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
- Pertanian
adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang
menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain
memegang peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).
Ketiga ciri
khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam respons
permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas
permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil daripada
hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku,
mobil dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas
permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan pendapatan sektor
industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan sektor pertanian maka
elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih besar
daripada atas bahan makanan pokok.
5. Pendapatan Penduduk Desa dan Kota
Perbedaan kebijakan
antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula dalam keperluan akan kebijakan
yang berbeda antara penduduk kota
dan penduduk desa. Perbedaan pendapatan antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian
rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan
rata-rata pendapatan penduduk kota
lebih tinggi dibanding penduduk desa yaitu:
- kestabilan
dan kemantapan pendapatan penduduk kota
lebih besar dibanding pendapatan penduduk desa
- lembaga-lembaga
ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di kota lebih banyak
dibandingkan di desa
- lebih
banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata
produktivitas tenaga kerja di kota
lebih tinggi.
Salah satu upaya
untuk mengurangi perbedaan pendapatan
ini adalah dengan menambah persediaan modal di desa serta mengurangi jumlah
tenaga kerja di pedesaan dan diserap bagi lapangan industri di kota-kota.
Dengan lebih banyaknya investasi di desa misalnya dalam alat-alat pertanian
yang lebih modern, huller , traktor
dan juga dalam pembangunan-pembangunan prasarana fisik seperti
jembatan-jembatan baru, bendungan irigasi dan lain-lain maka timbul adanya
keperluan akan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Seorang petani yang
mengerjakan sawah dengan bajak atau traktor dalam waktu yang sama akan mampu menyelesaikan
luas sawah yang lebih besar daripada petani lain yang hanya menggunakan
cangkul. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah:
- Adanya
tambahan modal yang berupa pajak dan ternak serta mesin traktor pada
petani pertama
- Adanya
keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan oleh petani yang menjalankan bajak atau
traktor itu.
Kedua unsur
inilah yang menimbulkan perbedaan
produktivitas tenaga kerja.
sumber: http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4415/Permasalahan dan Kebijakan di Bidang Pertanian.doc
wkwkwkkw ki tulisan opo semut bos cilik banget
BalasHapuspenting seh isoh di woco boss.. ahahaha
BalasHapus